Kabar memilukan datang dari dunia pendidikan dasar. Sejumlah Sekolah Dasar (SD) negeri di Kabupaten Blora mengalami krisis murid pada tahun ajaran baru 2025/2026. Ironisnya, beberapa sekolah bahkan tak menerima satu pun pendaftar siswa baru. Fenomena ini viral di media sosial dan menggugah keprihatinan banyak pihak.
Di tengah riuhnya opini publik, suara akademisi pun mencuat. Arim Irsyadulloh Albin Jaya, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Institut Agama Islam Khozinatul Ulum (IAIKU) Blora, angkat bicara. Sebagai pakar Manajemen Pendidikan, ia mengajak semua pihak melihat persoalan ini secara jernih dan mendalam.
“Ini bukan sekadar krisis pendaftaran, tapi sinyal dari perubahan besar yang sedang terjadi di tengah masyarakat kita,” ujar Arim pada Selasa (22 Juli 2025).
Ia menilai, setidaknya ada tiga akar persoalan yang saling berkelindan hingga menyebabkan kondisi ini. Pertama, dampak keberhasilan program keluarga berencana yang mengakibatkan penurunan tajam jumlah anak usia sekolah dasar. “Masyarakat kini lebih sadar untuk memiliki keluarga kecil. Akibatnya, populasi anak usia SD menyusut. Ini kenyataan demografis yang harus kita terima dan sikapi dengan bijak,” paparnya.
Kedua, perubahan orientasi kelas menengah yang kini lebih selektif dalam memilih lembaga pendidikan. “Banyak orang tua kini rela membayar lebih demi kualitas. Mereka lebih memilih sekolah swasta atau unggulan yang dianggap lebih siap dan unggul, dibandingkan SD negeri konvensional,” tambah Arim.
Faktor ketiga adalah meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pendidikan berbasis agama. Sekolah Islam terpadu dan madrasah menjadi alternatif utama bagi orang tua yang menginginkan pendidikan umum dan keagamaan berjalan beriringan. “Sekolah seperti itu memberikan kenyamanan spiritual dan intelektual dalam satu paket,” imbuhnya.
Bukan Sekadar Tambal Sulam
Melihat kompleksitas persoalan ini, Arim menolak solusi instan. Ia menekankan pentingnya strategi adaptif dan komprehensif. “Kita perlu jujur dalam mendiagnosis masalah. Kalau memang karena jumlah anak berkurang, maka opsi penggabungan atau merger sekolah adalah langkah logis yang tak bisa dihindari,” katanya tegas.
Namun, jika yang dihadapi adalah persoalan persaingan kualitas, maka solusi utamanya adalah inovasi. “SD negeri tak bisa lagi berdiri di zona nyaman. Harus ada peningkatan mutu, baik dari sisi kurikulum, layanan, hingga pendekatan pembelajaran. Bahkan, bila perlu, memasukkan unsur nilai-nilai religius sebagai penguatan karakter,” sarannya.
Panggilan untuk Bangkit
Di akhir pernyataannya, Arim menyuarakan harapan agar seluruh pemangku kepentingan antara pemerintah, guru, tokoh masyarakat, dan orang tua bisa bahu membahu menata ulang wajah pendidikan dasar negeri.
“Jangan biarkan sekolah-sekolah kita hanya jadi bangunan kosong tanpa suara anak-anak. Kita harus bergerak bersama. Ini bukan soal angka pendaftar, ini soal masa depan generasi kita,” pungkasnya penuh harap.
Fenomena krisis siswa ini bukan sekadar cerita duka, tapi juga momentum untuk berbenah. Saatnya pendidikan dasar negeri bangkit, menyesuaikan diri dengan zaman, dan kembali merebut kepercayaan masyarakat.
Pawarta: Yusron Ridho Nurfatoni