Review Buku “Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam” dari judul asli “Trends and Issue in Contemporary Arab Thought” karya Issa J. Boullata
Oleh : H. Muhammad Nabil, S.Sy., M.Ag.
Identitas Buku
- Judul : Dekonstruksi Tradisi
- Penulis : Issa J. Boullata
- Penerjemah : Imam Khoiri
- Penerbit : Lkis (Yogyakarta)
- Tahun terbit : 2012 (edisi revisi)
- Jumlah halaman : 256
- Kategori : Islam
Dalam buku tersebut, Issa mengambil dari beberapa sample pemikiran yang dewasa ini digelontarkan oleh ilmuwan-ilmuan Arab dalam menghadapi tantangan- tantangan strategis untuk menuju masyarakat Arab kontemporer. Ilmuwan reformis yang diusung Issa sejatinya banyak menaruh perhatian kepada perkembangan entah dari sisi politik, ekonomi, budaya dan pemikiran (ideologi) (hlm.3).
Selain itu dalam buku ini terdapat suatu kajian terhadap bagaimana para intelektual Arab memahami dan mendudukkan diri mereka di hadapan modernitas global (baca the other). Dalam buku ini, akan diperlihatkan bagaimana “Islam”, “Arab”, dan identitas-identitas lainnya dirumuskan, cita-cita masa depan dipancangkan, dan aksi politik digelar (hlm.9). Dinamikanya demikian luas, tidak tunggal, dan terbentang dari yang paling kiri hingga kanan. Ketegangan berlangsung antara kesetiaan pada “tradisi” dan harapan serta keyakinan pada “progresi”Mengingat derasnya arus pemikiran Arab kontemporer terma seputar kebangkitan Arab maupun Islam terus menjadi sorotan bagi sarjana barat. Issa J. Boullata misalnya dalam buku ini (Dekonstruksi Tradisi) menaruh perhatian secara sistematis strategis dalam melihat ulang gagasan-gagasan yang dihasilkan pemikir Arab dalam mementukan sikap atas dirinya sendiri (baca masyarakat Arab).
Menariknya dalam buku ini, Issa membeberkan latar belakang pemikiran dari sejumlah tokoh-tokoh ilmuan yang dianggapnya kompetabel. Hal yang sengaja dihadirkan agar kecenderungan pemikiran dapat dilihat secara realita dalam buku yang tebalnya hanya 256 halaman ini.
Dalam menyoroti aspek-aspek yang sedang terjadi dalam krisis Arab dewasa ini. Wacana yang bergulir tidak luput dari adanya sebuah upaya untuk melepaskan diri dari hegemoni barat. Barat bagi masyarakat Arab merupakan momok yang harus digeser. Mengingat bahwa Arab yang sejatinya pernah menjadi jantung dari peradaban bagi dunia. Hal tersebut terjadi setelah Arab terbebas dari kolonialisme barat. Namun ketergantungan kepada barat masih saja menduduki masyarakat Arab dalam perubahan yang dikehendakinya. Terutama ketika perubahan mengusung sistem modernisasi sehingga mempengaruhi nilai-nilai tradisional, pola perilaku dan sikap.
Hanya saja persoalan yang muncul dalam lingkungan intelektual Arab terjadi ketika pemikir konservatif masuk dalam perdebatan dengan menentang proses perubahan menuju modernitas dan mendukung pemeliharaan tradisi. Setidaknya terdapat tiga kecenderungan yang dihasilkan dari perselisihan wacana Arab kontemporer. Di antara perubahan, pembaruan dan konstruk awal Islam. Sayangnya tidak ada kesepakatan dari ketiga kecenderungan tersebut yang menjadi poin menguntukan bagi masa depan masyarakan Arab maupun Islam. Pilihan yang dilematis bagaimanapun dalam masa transisi kesatuan ideologi menjadi garda depan pembangunan nasional.
Sedangkan disisi lain, masyarakat Arab yang masih menetukan nasib, mereka berhadapan dengan realita ekonomi yang menjadikan perjuangan khas masyarakat dunia ketiga dan Arab semakin rumit. Adalah karena kenyataan ekonomi sangat terikat erat dengan ekonomi global dominan negara-negara barat, khususnya kapitalisme Amerika dan koorperasi multinasionalnya (hlm.50). Sehingga tokoh seperti Abdul Naser hadir memberi catatan penting dalam kaitanya terhadap sosialis. Tolak ukur tersebut kemudian memuncukan tokoh lain seperti Tayeb Tizini misalnya yang lebih memihak terhadap gagasan marksis. Lantaran demikian juga memunculkan istilah Islam kanan dan Islam kiri. Karena banyaknya sumbangan intelektual yang hadir memposisikan diri kedalam jalur masing-masing tersebut sehingga muncul Islam kanan Islam kiri.
Yang diharapkan dari memodifikasi warisan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kelangsungan hidup dan menjaminnya. Demi melakukan pemeliharaan diri dan menjaga identitasnya, warisan kultural kelompok yang berakar dalam institusi- institusi diubah dengan hati-hati, kebijakan yang cermat dan menggunakan sistem check and balance. Sehingga akan melahirkan perubahan refolusioner, kritik dikurangi atau dihilangkan secara tegas agar berbagai elemen kultural yang memiliki sifat baru akan menjadi bagian dari warisan itu sendiri.
Dimensi lain yang mengharuskan masyarakat Arab dalam mengambil posisinya adalah memunculkan kajian seputar perempuan. Suara-suara perempuan menjadi daya tarik sendiri untuk memenuhi standarisasi kopetensi yang lama meredup sekaligus memberi sumbangan dalam panggung perubahan (hlm.215). Tokoh refolusioner perempuan seperti ‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman, Zainab al-Ghazali, Nawal as-Sa’dawi mampu menggerakan jatidiri masyarakat Arab. Terbukti dalam memposisikan perempuan dalam posisi strategis di wilayah politik. Hal ini merupakan wujud perubahan yang disuarakan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut. Bagi mereka perempuan merupakan bagian dari keberlangsungan hidup sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan layak untuk dilemahkan.
Tanpa mengenyampingkan metodologi yang dilakukan Issa dalam penelitiannya mengenai dinamika pemikiran Arab kontemporer atau lebih tepatnya kajian mengenai Timur Tengah. Issa mencoba mencari isu-isu yang menjadi konflik politis Arab dewasa ini. Sehingga akan memudahkan untuk melihat peta atau struktur dialektik terhadap langkah maupun sikap masyarakat Arab kedepan.